“apa pendapat anda tentang seseorang yang tidak mengharapkan
syurga, tidak takut neraka, tidak takut Alloh, memakan bangkai, sholat tanpa
ruku’ dan sujud, ia menjadi saksi atas apa-apa yang tidak ia lihat, membenci
kebenaran, senang terhadap fitnah, lari dari rahmah, serat mempercayai yahudi
dan nasrani?”
Ialah wali Alloh, iatidak mengharapkan syurga dan tidak takut neraka,
artinya ia mengharapkan pemilik syurga serta takut pada pemilik neraka. Ia tidak takut kepada Alloh, itu karena ia tidak
takut bahwa Alloh akan berbuat tidak adil kepadanya, sebagaimana dinyatakan
oleh Alloh SWT., “Sesungguhnya tuhanmu tidak akan berbuat zhalim sedikitpun
kepada hamba-Nya.”(fushilat:46)
Ia makan bangkai , itu karena ia makan ikan. Adapun ia shalat tanpa shalat tanpa ruku’ dansujud, itu artinya ia mengucapkan shalawat nabi
SAW. Atauia shalat jenazah. Adapunia bersaksi atas
apa-apa yang ia tidak lihat, itu artinya ia bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Alloh dan Muhammad hambanya dan rasul-Nya. Adapun bahwa ia membenci kebenaran, itu artinya ia membenci
kematian, karena kematian merupaka kebenaran, ia juga mencintai keabadian
sehingga ia bisa mentaati Alloh Ta’ala. Sebagaimana difirmankan dalam Al qur’an
:
“telah dating sakaratul maut dengan kebenaran.”(qaf:19)
Ia menyukai fitnah, itu artinya ia mencintai harta dan
anak,sebagaimana difirmankan dalam Al-qur’an :
“sesungguhnya harta dan anak-anakmu merupakan fitnah.”(At-taghabun:15)
Adapun bahwa ia lari dari rahmat,
maksudnya adalah ia lari dari hujan (yang merupakan gerimis dan rahmat). Adapun
bahwa ia mempercayai yahudi dan nasrani,
maksudnya adalah sebagaimana difirmankan dalam Al-qur’an :
“Orang-orang yahudi berkata bahwa orang-orang nasrani itu
tidak ada artinya apa-apa, orang-orang nasranipun berkata bahwa orang-orang yahudipun
tidak ada artinya.”
Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati
dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Alloh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak
pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati,
universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada
gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat
yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era
republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang
berasal dari Barat. Kita mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah
Magna Charta, tahun 1215, di Inggris, dan yang kini berlaku secara universal
mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10
Desember 1948.
Padahal, kalau kita mau bicara
jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W.
memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima
abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan
ditegakkannya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila
sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir ketimbang
konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam
relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal. Islam sesunguhnya sebuah
proklamasi pembebasan manusia bagi seluruh manusia di seluruh penjuru bumi;
bukan proklamasipembebasan khusus bagi bangsa arab saja. Seorang tidak
bisa disebut “muslim”, meski ia mengaku muslim, manakala ia masih menjalankan
praktik-praktik jahiliyah.
Untuk memverifikasi benar-tidaknya
bahwa konsepsi HAM dalam Islam telah lahir lebih dulu ketimbang konsepsi HAM
versi Barat atau universal, maka perlu ditelusuri tentang sejarah HAM universal
dan sejarah HAM dalam Islam. Selain itu, perlu pula ditelaah mengenai konsepsi
HAM universal dibandingkan dengan konsepsi HAM dalam Islam. Dari sini,
diharapkan akan terkuak kebenaran "historis" tentang sejarah HAM dan
konsepsi HAM secara universal serta sejarah HAM dan konsepsi HAM dalam Islam.
Betapa rapuhnya hidup tanpa keyakinan, betapa
beratnya hidup tanpa kebebasan, dan betaap merananay hidup ketika jiwa-jiwa
dibelenggu oleh orang-orang lalim yang telah membelenggu kebebasan diri,
walaupun kesesatan sedang berkuasa, meski kesesatan memiliki dinding dan tembok
besar, serta massa dan pengikut yang banyak, hal ini takkan mengubah kebenaran
sedikitpun.
UNTUK LEBIH LENGKAPNYA , DOWNLOAD EBOOK INI,KLIK DISINI
Marak terjadinya penyimpangan-penyimpangan social dewasa ini, sebagaimana telah kita ketahui bersama akan turunnya moral bangsa ini. Semua itu terbukti dan terjadi dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah. Penipuan, kecurangan, hingga menghilangkan nyawa orang lain telah banyak terjadi. Tersiar di media-media massa, elektronik dan lain-lain.
Bagaimana dengan kaum muslimin yang justru melakukan hal tersebut. Padahal telah jelas diterangkan oleh Alloh dalam Al qur’an larangan untuk berbuat hal tercela semacam itu. Lalu dimanakah titik masalah keruwetan ini?, apa penyebab utama atas terjadinya penyimpangan ini?, dan yang tak kalah penting, bagaimana meretas keruwetan di tengah bangsa ini?. Dari berbagai persoalan inilah penulis terinspirasi untuk menguraikannya dalam sebuah tulisan sederhana, yang mana bisa menjadi manfaat bagi kita semua untuk kembali berbenah diri.
.Abstraksi
Tulisan sederhana ini menjelaskan berbagai permasalahan umat saat ini, yang mana jika tidak segera diretaskan akan menjadi malapetaka besar kedepannya. Setiap muslim menanggung amanah besar hidup di bumi ini, maka seharusnyalah menjaga keseimbangan roda kehidupan didalamnya.
Masalah-masalah yang terjadi dan telah kita ketahui bersama ialah banyaknya kecurangan, persengketaan, perselisihan, penindasan, diskriminasi, dan banyak hal lain semua itu tidaklah terjadi jika akhlaq bangsa ini tinggi dan berkualitas. Namun, yang terjadi hari ini adalah penurunan akhlaq dan moral yang sangat drastis. Hilangnya kejujuran menjadikan tersebarnya penipuan, kecurangan, korupsi dll. Ghosob mendidik manusia menjadi penjilat-penjilat, penipu, koruptor dan pencuri kelas berat. Kesombongan menciptakan penindasan dan monopoli kepada yang lemah. Dendam dan iri hati mengadakan banyak persengketaan dan perselisihan dimana-mana.
Alloh telah menurunkan dan menjadikan sebagian hambaNya sebagai suri tauladan yang baik dan gambaran bagi manusia lain dalam menapaki hidup agar selamat dunia dan akhirat. Ikhlas, Jujur, rendah hati, saling mengenal, memahami dan membantu diantar sesame muslim adalah sebagian kecil sifat yang dicontohkan mereka,para salaful ummah, ahlul qurun dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Marak terjadinyapenyimpangan-penyimpangan social dewasa ini, sebagaimana telah kita ketahui bersama akan turunnya moral bangsa ini. Semua itu terbukti dan terjadi dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah. Penipuan, kecurangan, hingga menghilangkan nyawa orang lain telah banyak terjadi. Tersiar di media-media massa, elektronik dan lain-lain.
Bagaimana dengan kaum muslimin yang justru melakukan hal tersebut. Padahal telah jelas diterangkan oleh Alloh dalam Al qur’an larangan untuk berbuat hal tercela semacam itu. Lalu dimanakah titik masalah keruwetan ini?, apa penyebab utama atas terjadinya penyimpangan ini?, dan yang tak kalah penting, bagaimana meretas keruwetan di tengah bangsa ini?. Dari berbagai persoalan inilah penulis terinspirasi untuk menguraikannya dalam sebuah tulisan sederhana, yang mana bisa menjadi manfaat bagi kita semua untuk kembali berbenah diri.
.
Tulisan sederhana ini menjelaskan berbagai permasalahan umat saat ini, yang mana jika tidak segera diretaskan akan menjadi malapetaka besar kedepannya. Setiap muslim menanggung amanah besar hidup di bumi ini, maka seharusnyalah menjaga keseimbangan roda kehidupan didalamnya.
Masalah-masalah yang terjadi dan telah kita ketahui bersama ialah banyaknya kecurangan, persengketaan, perselisihan, penindasan, diskriminasi, dan banyak hal lain semua itu tidaklah terjadi jika akhlaq bangsa ini tinggi dan berkualitas. Namun, yang terjadi hari ini adalah penurunan akhlaq dan moral yang sangat drastis. Hilangnya kejujuran menjadikan tersebarnya penipuan, kecurangan, korupsi dll. Ghosob mendidik manusia menjadi penjilat-penjilat, penipu, koruptor dan pencuri kelas berat. Kesombongan menciptakan penindasan dan monopoli kepada yang lemah. Dendam dan iri hati mengadakan banyak persengketaan dan perselisihan dimana-mana.
Alloh telah menurunkan dan menjadikan sebagian hambaNya sebagai suri tauladan yang baik dan gambaran bagi manusia lain dalam menapaki hidup agar selamat dunia dan akhirat. Ikhlas, Jujur, rendah hati, saling mengenal, memahami dan membantu diantar sesame muslim adalah sebagian kecil sifat yang dicontohkan mereka,para salaful ummah, ahlul qurun dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Cinta dan
sayang memang adalah hal yang manusiawi pada manusia. Allah menganugerahi
perasaan cinta pada setiap insan. Bahkan Allah juga menurunkan aturan berkaitan
dengan cinta.Dalam banyak hadist Rasulullah SAW, Rasul menjelaskan tentang
adanya perasaan dan rasa sayang seorang muslim pada saudaranya (muslim yang
lain). Berikut adalah bagimana car seorang muslimah mencintai saudari
seimannya.
1. Mengasihi dan menyayangi karena
Allah Ta’ala
Banyak
cinta ternoda oleh kepentingan duniawi atau motif tersembunyi. Saudariku, cinta
sejati adalah hubungan yang berasal dari kemurnian cahaya bimbingan Islam (Dr
Muhammad A. Al-Hashimi). Ini adalah ikatan yang menghubungkan Muslim dengan
saudara seiman mereka. Tak peduli perbedaan bahasa mereka, perbedaan letak
geografis tempat ia berada, tak peduli perbedaan budaya dan warna kulit. (Ini
adalah) ikatan atas dasar iman kepada Allah (subhaanahu wa ta’ala).Sebuah cinta
yang merupakan ekspresi dari manisnya iman dapat dilihat dari hadist riwayat
Anas ra., ia berkata:
Nabi saw. bersabda: Ada tiga hal
yang barang siapa mengamalkannya, maka ia dapat menemukan manisnya iman, yaitu
orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada yang lain, mencintai
orang lain hanya karena Allah, tidak suka kembali ke dalam kekufuran (setelah
Allah menyelamatkannya) sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka.
Jadi ini bukan cinta demi status,
atau ketenaran. Ini adalah cinta yang membutuhkan hati yang bersih, hati yang
ringan, dan lembut.
Dari Mu’adz ibn Jabal ra, katanya:
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, Berfirman Allah Yang Maha Mulia dan
Luhur: “Mereka yang berkasih-sayang demi Keluhuran-Ku, bagi mereka
mimbar-mimbar cahaya yang menyebabkan para An-Nabi dan para Asy-Syuhada iri
kepada mereka”. (HR. At Tirmidzi).
Cinta semacam inilah adalah
satu-satunya cara untuk menghilangkan kebencian, kecemburuan, dan persaingan
dari hati manusia.
2. Menunjukkan kepada mereka
kebaikan dan kesetiaan pada teman dan saudara mereka juga.
Pentingnya
kebaikan disebutkan ratusan kali dalam Al-Qur’an! Islam menanamkan pengikutnya
dengan karakteristik kebaikan dan kesetiaan terhadap teman-teman, termasuk
orang tua. Jika kita ingat kisah tentang Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu
‘anha yang berkata: “Saya tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari semua
istri-istri Nabi s.a.w. sebagaimana cemburu saya kepada Khadijah, padahal saya
tidak pernah melihatnya sama sekali, tetapi Nabi s.a.w. memperbanyak
menyebutkannya -yakni sering-sering disebut-sebutkan kebaikannya-.
Kadang-kadang Nabi s.a.w. menyembelih kambing kemudian memotong-motongnya
seanggota demi seanggota, kemudian dikirimkanlah kepada kawan-kawan Khadijah
itu.
3. Selalu berwajah hangat,
ramah, dan tersenyumketika bertemu
Begitu
berartinya sebuah senyuman dalam kehidupan hingga Rasulullah SAW bersabda dalam
hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi.
”Tabassumuka Fii Wajhi Akhiika
Shodaqoh.”
Artinya, “Tersenyum ketika
bertemu dengan saudara kalian adalah termasuk ibadah.”
Senyum
memiliki fungsi yang luar biasa dalam mengubah dunia. Mengapa demikian? Karena
senyum merupakan salah satu instrumen dakwah dan syiar Rasulullah SAW yang
turut melengkapi kemuliaan budi pekertinya dalam etika pergaulannya dan dalam
membina keharmonisan rumah tangganya.
Suatu
hari, seorang Badui Arab meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW dengan menarik
sorban beliau hingga tercekik, dan tarikan sorban itu meninggalkan bekas pada
leher Rasulullah SAW. Orang ini berpikir, bahwa Rasulullah pasti marah setelah
ia melakukan hal tersebut. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Ia terkesima
menatap Rasulullah SAW yang tidak marah atas perlakuannya yang sangat kasar,
tetapi justru Rasulullah SAW tersenyum dengan ikhlas kepadanya.
Akhirnya,
senyum tulus Rasulullah SAW, membawa orang Badui ini menikmati indahnya Islam.
Sebuah senyum yang didasari ketulusan dan keimanan mampu mengubah keyakinan
seseorang. Ketulusan senyum dan kemuliaan budi pekertinya dalam berdagang
bahkan berperang membuatnya mampu menyebarkan Islam hingga Kisra dan Persia.
4. Tulus terhadap mereka
Ketulusan
adalah salah satu prinsip paling dasar dari Islam dan landasan utama iman.
Tanpa ketulusan, iman saudara adalah valid dan dia Islam adalah berharga.
Ketika orang-orang percaya pertama memberi kesetiaan (bai’’at) kepada Nabi
(sallallahu `alaihi wa sallam), mereka berjanji ketulusan mereka. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan dari Jarir ibn ‘Abdullah (radiallahu `anhu):” Saya
memberi kesetiaan kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam) dan berjanji untuk
mengamati salat, membayar zakat dan untuk menjadi tulus terhadap setiap Muslim.”
[Muttafaqun 'alaihi]
Selanjutnya,
Nabi kita tercinta (sallallahu `alaihi wa sallam) berkata:” Tidak ada dari
kalian benar-benar beriman sampai ia mencintai saudaranya lebih dari dirinya
sendiri” [Muttafaqun 'alaihi]. Dan tentu saja mustahil cinta seperti itu bisa
ada tanpa adanya ketulusan.
5. Tidak meninggalkan atau membiarkan
saudaranya melenceng dari keimanan
Islam
adalah agama yang menyerukan cinta, silaturrahmi, dan kasih sayang sesama.
Islam juga melarang kita meninggalkan saudara dalam iman dan saling membenci
atau meninggalkan satu sama lain ketika ada yang melakukan kekufuran. Hal ini
tersirat dalam hadist yang ditulis oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: “Tidak
ada dua orang yang mencintai satu sama lain karena Allah, atau karena Islam,
akan membiarkan pelanggaran kecil pertama yang dilakukan salah satu dari mereka”.
Hadits ini
menunjukkan bahwa kefuturan yang dialami saudara kita tidak boleh didiamkan.
kita harus mengingatkannya. Selain itu, tidak bertegur sapa dengan saudar
seiman tidak boleh terlalu lama, maksimal tiga hari. Semakin lama kerenggangan
berlangsung (3 hari atau lebih) yang lebih besar dosa dan yang lebih parah
adalah hukuman yang akan menimpa dua orang yang berselisih.
6. Menahan amarah
Marah
adalah hal yang manusiawi, terjadi pada siapa saja dalam suatu hubungan
persaudaraan. Namun, Muslim sejati akan mampu menahan amarahnya dan cepat
memaafkan saudaranya, dan tidak ada rasa malu dalam melakukannya. Sebaliknya,
dia mengakui ini sebagai hal yang baik yang dapat membawanya lebih dekat kepada
Allah dan mendapatkan cintanya-Nya yang Dia menganugerahkan hanya pada
orang-orang yang berbuat baik: “… [mereka] yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan). Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. ”
[Al-`Imran 3:134]
7. Tidak bergosip atau
menjelek-jelekkan mereka
Muslimah dilarang bergosip atau
menggunjing saudaranya dalam Islam. Dia tahu gosip itu adalah haraam Qur’an
mengatakan: “… janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang
lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha
Penerima Taubat, Maha Penyayang “. [Al-Hujuraat 49:12]
Muslimah yang cerdas akan menahan
lidahnya dan berbicara hanya yangbaik tentang saudaranya.
8. Menghindari berdebat dengan
mereka, membuat lelucon yang menyakitkan, dan melanggar janji
Hal ini tseperti hadist Rasulullah
yang dituliskan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad bahwa Nabi kita
(sallallahu `alaihi wa sallam) berkata:” Jangan berdebat dengan saudaramu,
jangan bercanda berlebihan dengan dia, jangan membuat janji dengannya kemudian
kamu ingkari.”
Berdebat mengarah ke kesalahpahaman
lebih lanjut, kekakuan, dan merupakan jalan pembuka bagi Iblis; lelucon
yang menyakitkan sering menyebabkan kebencian dan hilangnya rasa hormat, dan
melanggar janji membuat orang marah dan merusak cinta.
9. Murah hati dan rela berkorban
untuk saudaranya
Muslimah lebih suka bersahabat
dengan sesama Muslim atas non-Muslim. Ikatan kepercayaan umum membentuk dasar
bagi kemurahan hati, karakteristik Islam yang dasar. Kami memohon dari Allah
(subhaanahu wa ta’ala) menjadi “… dan bersikap lemah lembut terhadap
orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
[Al-Maidah 5:54]
10. Berdoa untuk saudaranya dalam
ketidakhadiran mereka
Muslimah yang tulus yang benar-benar
menyukai sauadarnya melebihi dirinya sendiri, maka ia tidak lupa berdoa untuk
saudaranya dalam ketiadaannya.
Dengan menjadkan Islam sebagai
identitas utama kita untuk mencintai saudara seiman atas dasar kepatuhan kepada
Allah Ta’ala adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkan kita di Hari
Kebangkitan kelak. Wallohua’lam.
Besarnya zakat fitrah adalah satu sha’ per orang, yaitu empat kali tangkupan dua telapak tangan orang dewasa. Satu sha’ menurut ukuran sekarang adalah sekitar 2,5 kg atau 3,5 liter. Berdasar hadits,
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِظٍّ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata: “Kami mengeluarkan zakat fithri pada zaman Rasulullah SAW berupa satu sha’ makanan, atau satu sha’ tepung gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur kering, atau satu sha’ susu bubuk (keju atau mentega).” (HR. Bukhari no. 1505 dan Muslim no. 985)
Para ulama berbeda pendapat tentang alokasi penyaluran zakat fithri:
Madzhab Maliki berpendapat zakat fithri hanya boleh dibagikan kepada golongan fakir dan miskin semata. Berdasar hadits dari Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih bagi orang yang shaum dari perkataan yang tidak berguna dan perkataan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827 dengan sanad hasan)
Mayoritas ulama (madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) berpendapat zakat fithri bisa dibagikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat mal, bukan hanya golongan fakir dan miskin semata. Pendapat inilah yang lebih benar dan kuat. Alasannya, penyebutan sebagian golongan penerima zakat (fakir dan miskin) dalam hadits Ibnu Abbas bukan berarti membatasi penerima zakat dalam dua golongan tersebut saja. Hal ini sebagaimana penyebutan golongan fakir-miskin sebagai penerima zakat mal dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal:
“Maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat dalam harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19)
Meski yang disebutkan sebagai penerima zakat mal dalam hadits tersebut hanya golongan fakir dan miskin, bukan berarti golongan yang lain tidak berhak menerimanya. Karena berdasar ayat Al-Qur’an, penerima zakat mal bukan hanya dua golongan itu, melainkan delapan golongan. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Muallaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah (9): 60)
jika engkau merasa berat saat membelalakkan mata,bukanlah kantuk sebenarnya,tapi ketidak siapan menhadapi hari ini,namun jika terasa segar saat membelalakkan mata sesungguhnya ada harapan baik yg akan dihadapi hari ini